Social Icons

Pages

Catatan Akhir : Seberkas Teka-Teki

BERITA PENDIDIKAN POLITIK

PANJI OPOSISI

Vol. 5/Agustus 2008/Hal.7

Catatan Akhir : Seberkas Teka-Teki

Oleh : Ujang Samsudin

SUDAH berulang kali analisis tentang peristiwa Gerakan 30 Sepetember 1965 dilakukan oleh berbagai kalangan, bahkan oleh para pemerhati dari luar negeri. Tetapi sekali lagi hal itu tidak menjadikan utntuk berhenti menelaah tentang peristiwa paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia di Indonesia.

Perkembangan politik yang dinamis pada sekitar peristiwa tersebut menjadi rentetan kejadian yang melingkupinya. Perang dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur yang berimbas pada perebutan dominasi pengaruh ke negara-negara di atas muka bumi ini semakin memanaskan suhu politik dimanapun berada termasuk di Indonesia. Menjadi menarik untuk diungkapkan kembali saat ini, termasuk yang pernah dikemukakan oleh Manai Sophian.

Keterlibatan Amerika dalam penyusunan skenario tersebut patut dipertimbangkan. Kegiatan Marshall Green, Duta besar Amerika Serikat di Jakarta waktu itu sangt mencurigakan. Asisten Menteri Luar Negeri AS urusan Asia Timur dan Pasifik (1964-1969), William P.Bundy dalam kata pengantarnya dalam buku karya Marshall Green, “Dari Sukarno ke Suharto” menulis, ... “apa yang dilakukan oleh Pemerintah AS di Indonesia sejak pertengahan 1965 hingga 1968, ialah pada dasarnya mengikuti nasehat Marshall Green mengenai pendekatan itu, cerita itu dapat disebut keberhasilan suatu misi yang membuat Indonesia menjadi kisah keberhasilan.

Pengakuan lain yang datang dari wartawan Amerika, Arnold G Brackman. Ia menulis : “apa yang terjadi di Indonesia pada hari-hari pertama yang menentukan dalam bulan Oktober 1965, mungkin yang paling mencolok dalam zaman ini di Asia sejak Mao bangkit berkuasa di daratan Cina pada tahun 1949”. Meskipun demikian, Marshall Green merasa perlu mengatakan bahwa AS tidak terlibat di Indonesia, hanya memperoleh manfaat besar dari hilangnya kekuatan komunis di Negeri itu. Ia mengutip tulisan Lektor Kepala HW Brands dari Texas A & M University dalam Journal of American Hostory (Desember 1989) bahwa Amerika Serikat tidak mendongkel Soekarno dan tidak bertanggung jawab terhadap ratusan ribu jiwa yang tewas dalam penumpasan PKI. Oleh karenanya, kata Green “kita tidak punya alasan untuk meminta maaf karena masa lampau”.

Sangkaalan Marshall Green cukup berani, karena bukti-bukti yang diungkapkan dalam dokumen-dokumen yang dikutip dari Presiden Johnson Liberary yang sudahdiumumkan di Amerika, kemudian diresmikan pada bulan Agustus 1967 di Bangkok, dimana Indonesia masuk didalamnya. Di salah satu kesempatan mantan Ketua Umum PBNU, Gus Dur menyatakan bahwa ormas Islam telah membantai 500.000 eks PKI. Tentu masih ada lagi yang dibunuh oleh yang tidak masuk “orang Islam”. Maka angka 1 juta seperti yang diumumkan oleh Panitia Amnesti Internasional, bisa dimengerti.

Hanya sejarah yang darahnya mengalir di sekujur tubuh bangsa, itulah yang dapat menjawab dengan tepat jika saatnya tiba. Namun seperempat abad wafat, terdaftar 9 juta penziarah mendatangi makam Bung Karno di Blitar untuk mengenang dan mendoakan yang terbaik baginya. Wartawan Keith Loveard menulis dalam Asia Week 29 Juni 1994, ia heran dan sekaligus kagum, mengapa yang ditempelkan supir-supir taksi pada kaca mobil mereka bukan gambar Presiden Soeharto tapi gambar Bung Karno. Wartawan ini tidak emerlukan jawaban karena sepanjang

Perjalanannya menyusuri Indonesia sepanjang 5000 Km, ia menemukan hanya satu sinonim dengan Indonesia yaitu Soekarno.

Demikianlah usul mencabut TAP MPRS No.XXXIII/1968 yang menggulingkan Presiden Soekarno dengan alasan yang diciptakan, nampaknya terlalu berat untuk dikabulkan. Karena akibat ketatanegaraannya dikhawatirkan menggoncangkan dan memalukan. Tapi berbagai tindakan resmi untuk memperlemah secara nerangsur-angsur makna TAP MPRS tersebut mulai ditempuh. Entahlah tindakan apalagi selanjutnya yang akan diambil, mungkin giliran 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila yang selama ini diingkari akan diakui kembali. Memang terlampau pahit untuk mengakui kesalahan, meskipun demikian sejarah tidak pernah lalai mencatatnya.

Pemateri:

Wakil Ketua Bidang Infokom

PAC PDI Perjuangan Kecamatan Jatinegara

Tidak ada komentar :