Social Icons

Pages

Kenapa Warga Kota Banyak Yang Miskin?


Kenapa Warga Kota Banyak Yang Miskin?

(Dwi Wijayanto Rio S)

BEBERAPA waktu lalu, tepatnya tanggal 9 Mei 2008 saya ke salah satu Rumah Sakit terbesar di negeri ini untuk menjalani bedah mulut, karena ada yang perlu diambil tindakan medis terkait dengan kondisi kesehatan dalam mulut. Setelah dijadwalkan dari 10 hari sebelumnya, akhirnya jadwal didapatkan, seperti biasa setelah melewati proses administrasi, mulailah dimasukkan ruangan khusus. Tindakan awal jelas bius lokal untuk menghilangkan rasa sakit pada saat diambil operasil kecil, karena harus ada yang di sayat sedikit. Ditengah pengerjaan yang dilakukan 2 orang dokter, terjadiah dialog diantara keduanya, kira-kira isinya tak jauh seputar aktivitas keseharian di bidang mereka yaitu profesi kedokteran.

Salah satunya, bercerita tentang teman-temannnya yang berdinas di berbagai rumah sakit, termasuk penghasilannya, kira-kira salah satunya berujar, “wah, sekarang sih kawan kita si Anu sudah enak ya, dinas di RS anu, sehari bisa sampai 10 pasien, itupun dengan tarif RS swasta yang memang cukup tinggi”. Sedangkan si dokter yang satunya lagi berujar, “yah, kita sih disini nggak seberuntung mereka, biaya pelayanan medisnya saja tidak seberapa, memang enak ya seperti kawan-kawan kita disana, sudah bisa punya yang bagus-bagus”.

Agak terhenyak terdengar, tapi obrolan itu terus berlangsung, sampai akhirnya tindakan medis selesai. Singkat kata, setelah semua selesai prosesnya, saya meluncur pulang ke rumah. Sambil menunggu penyembuhan luka yang masih basah, saya merenung, kenapa ya mereka para dokter punya cara berfikir seperti itu? Padahal mereka adalah putra-putra bangsa yang proses pendidikannya menjadi Dokter dibiayai oleh negara dan mendapat gaji dari negara pula. Artinya menggunakan uang rakyat, tetapi di sisi yang lain tidak memiliki keteguhan hati untuk mengabdi kepada rakyat. Bayangkan saja, jika seluruh dokter ataupun profesi lain memiliki cara pendang seperti itu, maka celaka tiga belas republik ini.

Ada lagi cerita di sekitar lingkungan saya tentang Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), yang diselenggarakan tergesa-gesa dengan kesan asal ada, sehingga hasilnyanyapun kurang aspiratif. Ditambah lagi penampungan aspirasi hanya sekedar untuk memenuhi prosedur formal saja. Kebetulan sebagai pengurus Rukun Warga beserta jajaran lainnya seringkali mengkritik pihak kelurahan, tetapi lagi-lagi hanya lewat begitu saja.

Tanggapannya iya hari ini tetapi tidak iya untuk pelaksanaannya.

Jadi kesimpulannya bahwa lingkaran kemiskinan warga kota, dapat terjadi oleh 2 sebab besar, yaitu budaya birokrasinya dan sistem kebijakannya. Kebijakan pemerintah suatu daerah yang pro pembangunan fisik belaka, tentu kecenderungannya akan mengabaikan keberadaan warganya.

Artinya pendekatan yang hanya formalistik struktural saja. contoh penggusuran, termasuk di kota Jakarta, warga kota yang dianggap liar dan tidak jelas status hukumnya wajib untuk ditertibkan alias di gusur, dengan tidak mau tahu penyebabnya seperti apa.

Begitu pula dengan berbagai peraturan daerah yang dalam prakteknya cenderung mengabaikan warga kota miskin yang lemah keberadaannya secara hukum maupun sempit akses ekonominya, contoh biaya kesehatan dan pendidikan ataupun layanan umum lainnya yang mahal.

Budaya kerja birokrasi menjadi penentu lainnya, contoh tentang pengurusan layanan birokrasi di kantor pemerintahan, Rumah Sakit, sekolah, dll. Semangat kerja yang muncul hanya sekedar untung rugi, sekali lagi tidak berdasarkan pengabdian dan kesadaran bahwa mereka memiliki penghasilan yang berasal dari uang rakyat.

Pungutan liar alias korupsi dianggap menjadi hal biasa, yang terjadi mempersulit pelayanan pemerintah yang seharusnya di dapatkan oleh warga kota. Inilah bentuk-bentuk pemiskinan secara struktural, artinya orang miskin karena akibat dari kebijakan tindakan dan perilaku aparatur pemerintahan.

Pemiskinan warga kota memanglah tidak semata-mata berdiri sendiri tentang masalah di kota itu sendiri, tetapi akibat dari sistem pembangunan secara nasional sebagai imbas dari praktek-praktek kebijakan kepentingan neo liberalisme yang anti rakyat.

Tidak ada komentar :