Social Icons

Pages

Bulan Suci dan Menahan Nafsu?

PANJI OPOSISI

Vol. 6/September 2008/Hal. 2

Bulan Suci dan Menahan Nafsu?

(Dwi Wijayanto Rio S)

SURAT AL BAQARAH ayat 185 menyebutkan bahwa pada tanggal 17 bulan Ramadhan adalah sebagai turunnya Al Quran, sehingga ini yang menjadi latar belakang mengapa bulan Ramadhan menjadi bulan yang mulia. Menurut hadist riwayat bukhari, bulan Ramadhan adalah bulan yang terpuji dan penuh barakah. Terkait dengan kaum dhuafa, bulan Ramadhan menuntut manusia untuk peduli terhadap sesamanya. Kaidah perjuangan dimanapun juga menegaskan bahwa muara keberpihakan ditujukan untuk kepentingan umat manusia.

Apa hubungannya bulan suci dan menahan nafsu? Tentu menjadi terkait jika dilihat dari 2 aspek, yang pertama, aspek rutinitas keseharian yang peluh liku dan dinamikanya, yang kedua, aspek momentum bulan suci sebagai wahana refleksi dan instropeksi.

Seperti yang sudah berulang kali kita alami bahwa tuntutan duniawi telah menarik kita dalam 2 arus besar, yaitu sesuatu yang ideal dan sesuatu yang pragmatis. Sesuatu ideal dapat dipandang sebagai anugerah akal yang diberikan Sang Pencipta terhadap mahkluknya, berguna untuk menuntun setiap perilaku dan tindakan yang dilakukan oleh manusia. Sedangkan pragmatisme dapat dipandang sebagai motivasi atau nafsu untuk mencapai sesuatu. Nafsu akan menjadi posisitif tatkala berada dalam batasan-batasan norma kehidupan yang ada, tetapi menjadi negatif manakala hanya berangkat dari sesuatu yang emosionalitas belaka.

Akhirnya kita dapat menempatkan bulan suci Ramadhan sebagai sebuah momentum tatkala dijadikan sebagai bahan refleksi dan renungan. Lihat saja berbagai aktivitas manusia yang berkembang sehari-harinya. Dari bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dll, semuanya berjalan berkejaran satu sama lainnya maupun diantara didalamnya.

Kalau terakhir kita melihat bagaimana perkembangan situasi yang menempatkan manusia sebagai pihak yang memiliki keinginan untuk mencapai sesuatu, sedangkan pihak manusia lainnya berbuat sama dengan kepentingan yang berbeda ataupun sama. Dapat dibayangkan potensi benturannya? Apalagi dengan klaim satu dengan yang lainnya dengan melakukan pembenarannya.

Syahwat kekuasaan adalah salah satu jenis contoh yang dapat kita saksikan. Sekali lagi sebagai motivasi ini kita maklumi, tetapi sebagai tindakan berlebihan yang tidak mengindahkan norma-norma perjuangan itu sendiri akan menjadikan sesuatu yang merusak.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa keserakahan dan nafsu manusia telah sedikit banyak menghancurkan peradaban manusia. Meskipun di sisi lain dari kehancuran menghasilkan pembangunan, tetapi pembangunan yang berangkat dari penghancuran pastilah berbuah luka. Dapat kita lihat dari perang dunia I, perang dunia II, perang dingin, pembantaian massal 1965 di Indonesia, kasus tanjung priok, 27 juli, penculikan aktivis, dll.

Kenyataan tersebut diatas tidaklah lepas dari nafsu politik yang dimiliki segelintir orang yang kebetulan memegang tampuk kekuasaan. Bukan bermaksud saling menyalahkan, tetapi kenyataannya tersebut menggoreskan luka yang sangat mendalam dan tidak bisa hilang begitu saja.

Konteks kini tak dipungkiri lagi, rasa nafsu juga masih besar melanda anak bangsa. Salah satunya dengan semakin terbukanya sistem politik di Indonesia, bayangkan saja semua orang atas nama individu dapat melakukan apa saja. Dengan klaim dukungan dari rakyat dan kekuatan modal alias logistik yang hebat semua seakan bisa diraih. Inilah kenyataan di depan mata kita.

Andaikan kita terus menerus dibalut rasa nafsu yang tak terakhiri tentu saja terjadi jarak satu dengan yang lainnya. Sekali lagi motivasi dan nafsu di dalam diri manusia dapat menjadi lumrah dan dimaklumi, sepanjang diiringi oleh pandangan-pandang hidup yang ideal.

Oleh karenanya menjadi relevan untuk saat ini, di bulan suci Ramadhan 1429 H kita sama-sama melakukan refleksi dan instropeksi diri. Apalagi tuntutan untuk berbagi rasa sudah menjadi kemutlakan berjuang bagi siapapun juga. Bagi siapapun orangnya, dari yang paling taat beribadah sampai yang sebaliknya, yang namanya saling merasakan adalah kemutlakan. Mudah-mudahan saja ibadah puasa di bulan suci ini, selain dapat menahan nafsu, bukan saja makan minum, juga dapat mempertebal kepedulian terhadap sesama, utamanya terhadap kaum dhuafa alias kaum marhaen. (Red)

Tidak ada komentar :